KRITERIA KEPEMIMPINAN

Beberapa saat ke depan kita akan melaksanakan hajatan 5 tahunan, Pemilu 2009. Prosesi tersebut kini pun sedang berlangsung. Tujuannya adalah menentukan siapa-siapa yang layak memimpin bangsa ini.

Berkenaan dengan hal tersebut, saya tergelitik juga untuk mencoba membuat tulisan ini. Tulisan ini juga merupakan jawaban atas kebingungan yang saya alami dalam menentukan pilihan. Bagaimana tidak bingung jika dihadapkan dengan banyaknya pilihan, semuanya mengaku layak, mampu, dan janji-janjinya betapa menggiurkan.

Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa atau orang kebanyakan. Sebenarnya juga, apabila berbicara tentang pemimpin, sebaiknya jangan muluk-muluk. Dengan kata lain, berpikir sederhana saja. Misalnya: syarat menjadi suami. Pertama, harus manusia dan laki-laki. Baru yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

Syarat suami sebagai manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia. Bertindak hewaniah kepada isterinya, juga kepada wanita yang bukan isterinya.

Bukankah menjadi manusia itu sendiri sudah sedemikian sukarnya?

Jadi, syarat menjadi pemimpin itu ya sederhana saja: harus manusia. Sebab ratusan juta manusia di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya, gara-gara para pemimpin manusia berlaku tidak sebagaimana manusia. Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa perilaku kebinatangan ”rutin” terjadi dalam konstalasi perpolitikan dan kekuasaan. Juga persaingan ekonomi. Tapi, kebanyakan orang menganggap bahwa itu hal yang biasa, lumrah, wajar, jamak.

Bahkan perilaku kebinatangan tidak hanya dalam politik dan ekonomi saja, namun juga di bidang-bidang lainnya. Dalam bidang kebudayaan, perilaku kebinatangan juga bukan main semaraknya. Termasuk juga di bidang kesenian, hiburan, informatika, dll. Mungkin sekali termasuk saya sendiri.

Selain syarat pertama menjadi suami harus manusia juga harus laki-laki. Ternyata banyak suami tidak berlaku selayaknya laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, namun tidak dalam mekanisme politik rumah tangga. Betapa banyak lelaki yang ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang, culas, suka mengincar, menyuruh bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi pahlawan, merancang membakar gedung parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan lain sebagainya.

Dalam etimologi dan filosofi kebahasaan kita orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina atau perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga dilakukan oleh wanita? Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan. Jadi, yang dimaksud pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian kepribadian. Jika saya keliru, gugat saja Pusat Bahasa, hehehe.